Wednesday, 23 February 2011

Kota Palu Kota Tercinta

Kota Palu yang berada tepat di tengah-tengah pulau sulawesi merupakan sebuah kota yang kecil yang berpenduduk sekitar 400rb jiwa. Memiliki kultur masyarakat heterogen, berasal dari hampir seluruh suku bangsa negeri ini.

Dalam rentan sejarah bangsa ini, kota Palu sangat jarang di sebutkan baik itu sejarah sebelum maupun sesudah kemerdekaan. yang kemudian memunculkan berbagai pertanyaan, kenapa yah? apa sebabnya bisa begitu? apakah Kota Palu belum ada pada saat itu?

Dalam kesempatan ini kami mencoba mengungkap kembali berbagai peristiwa penting yang terjadi di Palu yang saat ini sedikit terlupakan (atau mungkin tidak pernah didapatkan di bangku sekolah?) dan mengendap di perpustakaan-perpustakaan dan di rak-rak buku kita yang sudah berdebu, seperti debu-debu yang beterbangan di dalam kota.


Sekilas,

Untuk ukuran sebuah kota, dalam hal ini sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan Palu telah berumur lebih dari 400 tahun yang di diami oleh penduduk asli yaitu suku Kaili. Yang sampai saat ini menjadi salah satu suku yang terbanyak jumlah penduduknya di Sulawesi Tengah yang berjumlah sekitar 45% dari keseluruhan jumlah penduduk Sulawesi Tengah.

Sangat sedikit literatur yang membicarakan kota Palu, kalaupun ada usianya sudah lebih dari 20 tahun yang lalu. hal ini menjadi salah satu penghambat penelusuran sejarah. namun banyak hal yang dapat dilakukan untuk melacak sejarah yang terlupakan ini, salah satunya dengan folk-tale (cerita rakyat) yang masih ada dimasyarakat sampai saat ini.


Sedikit mengali,

Pada awalnya peadaban to-Kaili terletak di pegunungan yang mengintari laut Kaili (saat itu kata Palu belum digunakan, karena lembah Palu masih berupa lautan) yang terdiri dari beberapa Kerajaan lokal. to-Kaili juga terdiri dari beberapa subetnik Kaili diantaranya To-Sigi, To-Biromaru, To-Banawa, To-Dolo, To-Kulawi, To-Banggakoro, To-Bangga, To-Pakuli, To-Sibalaya, To-Tavaili, To-Parigi, To-Kulavi dan masih banyak lagi subetnis Kaili lainnya.

To-Kaili mendiami hampir seluruh seluruh Kota Palu, Kab. Donggala, Kab. Sigi dan Kab. Parigimautong.

Selain itu to-Kaili juga mempunyai beberapa dialek diantaranya dialek Ledo, Rai, Tara, Ija, Edo/Ado, Unde, dan lain-lain. an dari semua dialek, dialek Ledo merupakan dialek yang umum di gunakan. Semua dialek Kaili merupakan dialek yang dibedakab dari kata "sangkal", karena semua jenis dialek Kaili mengandung pengrartian "tidak".

Kaili sendiri konon katanya diambil dari satu jenis pohon yang bernama Kaili (saat ini sudah punah) sebuah pohon yang sangat besar dan tinggi yang menjadi penanda daratan bagi orang-orang yang memasuki teluk Kaili (teluk Palu dulu bernama teluk Kaili). Pohon Kaili ini diperkirakan terletak diantara Kalinjo (sebelah timur Ngata Baru) dan Sigimpu (sebelah Tenggara desa Bora). ditengarai pohon ini terletak di Ngata Kaili (sebuah kampung yang terletakdi sebelah selatan Paneki, saat ini masih didiami oleh masyarakat etnik Kaili).

Dalam Epos Galigo tercatat satu riwayat Sawerigading, yang pernah menginjakan kakinya di tanah Kaili, peristiwa ini terjadi sekitar abad 8-9 M. Cerita tentang Sawerigading sangat populer di masyarakat Bugis dan juga masyarakat Kaili. Peristiwa ini juga merupakan cikal bakal terjalinnya hubungan dagang antara Kerajaan-Kerajaan di Tanah Kaili khususnya Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi.

Kapan adanya Palu?

Teluk Kaili dahulu sangat luas yang tepi pantai sebelah barat berada di Desa Bangga, di belah timur sampai ke Desa Bora dan mengintari Desa Loru. Bisa di bayangkan seperti apa lembah Palu pada saat itu. proses surutnya laut teluk Kaili diperkirakan terjadi sebelum Abad 16, sebab pada Abad 16 sudah ada Kerajaan Palu.

Ada beberapa versi tentang surutnya laut Kaili yang berkebang di masyarakat, salah satunya adalah saat seekor anjing yang mengganggu ketenangan seekor belut lalu kemudian terjadi perkelahian hebat yang menyebabkan sang belut keluar dari lubangnya kemudian oleh si anjing, belut tersebut di seret menuju laut dan serta merta air laut pun surut dan berakhir di talise.

Lubang belut itu yang kemudian menjadi Rano Lindu (Danau Lindu) sedangkan tanah bekas di seretnya sang belut kemudian menjadi sungai Palu.

Dalam versi lain di sebutkan proses surutnya air laut terjadi pada saat Kerajaan sigi yang saat itu di pimpin oleh seorang perempuan bernama Ngilinayo atau lebih di kenal dengan nama Itondei sedang melakukan pesta besar untuk rakyat Sigi da terjadi sebuah bencana besar yang mengguncang seluruh daerah Tanah Kaili. bencana itu menyebabkabkan laut Kaili menyusut dan membentuk daratan yang pada saat itu di sebut "LEMBA" atau lembah. tidak diketahui berapa lama proses ini berlangsung. pun halnya dengan menjadi subur dan nyamannya "LEMBA" untuk ditinggali.

Subur dan nyamannya lembah Kaili menggoda para masyarakat yang pada saat surutnya laut Kaili sudah menjadi masyarakat pegunungan untuk menempatinya. terjadilah gelombang urban baik dari barat lembah maupun dari timur lembah. di timur lembah terjadi dua gelombang yaitu:

- gelombang pertama menempati daerah yang di tumbuhi ilalang (Biro) yang sekarang bernama Biromaru

- gelombang kedua memecah diri menjadi dua, kelompok yang satu pun memilih Biromaru dan yang lainnya melanjutkan perjalanan menuju Palu.

Gelombang urban ini kesemuanya berasal dari Raranggonau, sebuah daerah yang terletak di sebelah timur Paneki.

Untuk menamai tempat yang di diaminya (dalam hal ini urban yang menuju ke Palu) maka masyarakat menanan Avo mPalu di tepi sungai Palu (tidak diketahui dimana letak yang pasti). Avo mPalu adalah adalah salah satu jenis bambu yang bentuknya kecil (Avo mPalu = bambu kecil) yang tumbuh di Daerah Raranggonau. dan seterusnya nama Palu ini digunakan.

dari barat lembah terjadi satu gelombang yang berasal dari bangga lalu kemudian menempati satu wilayah yang kini dikenal dengan nama Dolo.


Berapa usia kota Palu?

Pada Abad 16 dalam Aksara Lontara telah di sebutkan satu Kerajaan di tanah Kaili yang bernama Kerajaan Palu. punhalnya para intelektual belada pada Abad 18 telah menggunakan kata Palu untuk menunjuk daerah lembah Kaili.

Patut ditelusuri kapan tepatnya penggunaan kata Palu untuk Kota Palu sebab hal ini dapat mengungkap tabir peradaban masyarakat Kaili. Sayangnya, masyarakat Kaili tidak menganut budaya tulis, melainkan budaya lisan. Hal ini disebabkan karena orang Kaili mempunyai satu filosofi bahwa tubuh adalah dunia yang kecil, dan apun yang terjadi di dunia merupakan kejadian dalam diri. Dengan kata lain tubuh adalah rangkaian catatan-catatan yang terus mengalir dari waktu kewaktu.

Pengertian Kaili secara lingua franca lebih merujuk kepada tubuh, tempat mengalirnya darah. No -Kaili = mengaliri, dari hulu ke hilir memberi kehidupan dan pengalaman baru kepada apapun yang dilaluinya.


= catatan khusus=

dari semua peradaban to-Kaili yang coba diungkap disini masih ada lagi satu peadaban yang di tengarai juga sangat tua yaitu peradanan Lando, yaitu peradaban to-Kaili yang terletak diantara raranggonau dan tompu. dan ada satu Kerajaan Kaili tertua yang bernama Kerajaan Sidima yang terletak di Negeri Kalinjo (sebelah timur Tompu). Namun, kurangnya literatur menyebabkan pembahasan ini belum dapat di publikasikan.

Pada tulisan ini juga kami tidak menggunakan kata bolovatu mPalu tapi avo mPalu, dikarenakan penamaan bambu bagi To-Kaili untuk bolovatu digunakan untuk bambu berukuran besar seperti bambu gobong. Sedangkan avo di gunakan untuk bambu yang berukuran lebih kecil.
www.facebook.com/GenerasiMahasiswaInformatikaSulawesiTengah.

No comments:

Post a Comment